Oleh: Muhammad Jais, S.E., M.Sc.IBF*
Fenomena pinjaman online (pinjol) kian hari semakin menjadi sorotan publik. Di satu sisi, pinjol hadir sebagai solusi instan bagi masyarakat kecil yang membutuhkan dana cepat. Namun di sisi lain, praktik ini justru menjerat mereka dalam lingkaran riba, intimidasi, dan tekanan psikologis. Pada November 2021, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ijtima’ Ulama telah menegaskan hukum terkait pinjol: pada dasarnya akad pinjam-meminjam adalah akad tolong-menolong, tetapi jika disertai bunga atau keuntungan, maka jatuh pada kategori riba yang diharamkan.
Pernyataan ini sejalan dengan firman Allah dalam QS Al-Ḥadīd [57]: 11 tentang keutamaan memberi pinjaman dengan ikhlas, serta hadis Nabi ﷺ yang menganjurkan untuk meringankan kesulitan sesama muslim. Prinsipnya jelas: utang dalam Islam adalah bentuk solidaritas sosial, bukan ladang keuntungan. Namun realitas di lapangan berbeda. Rakyat kecil terdesak oleh kebutuhan mendesak tanpa ada lembaga keuangan yang benar-benar hadir menolong mereka. Maka pinjol, meski mencekik, tetap dianggap sebagai “malaikat palsu” yang hadir di saat mereka membutuhkan.
Pinjol dalam Perspektif Hukum Islam
Dalam perspektif hukum Islam, Ijtima’ Ulama MUI menegaskan bahwa praktik pinjam-meminjam pada dasarnya adalah bentuk tolong-menolong, namun jika disertai dengan pengambilan keuntungan, baik dalam bentuk bunga maupun biaya tambahan yang menjerat, maka hal tersebut termasuk riba dan haram hukumnya. Lebih jauh, MUI juga menyatakan bahwa segala bentuk ancaman, intimidasi, atau membuka aib peminjam yang tidak mampu melunasi utang adalah perbuatan haram. Sebaliknya, Islam justru menganjurkan pemberian keringanan atau penundaan pembayaran bagi mereka yang sedang kesulitan (mustahab), sebagaimana sabda Nabi ﷺ yang mengingatkan bahwa menunda pembayaran bagi orang yang sebenarnya mampu justru termasuk perbuatan zalim (HR Bukhari no. 2225). Prinsip ini menegaskan bahwa syariat Islam senantiasa menjaga keseimbangan antara hak pemberi pinjaman dan martabat peminjam.
Atas dasar prinsip tersebut, Ijtima’ Ulama MUI mengeluarkan tiga rekomendasi penting. Pertama, pemerintah melalui Kementerian Kominfo, POLRI, dan OJK diminta untuk memperketat pengawasan sekaligus menindak tegas praktik pinjol ilegal yang meresahkan masyarakat. Kedua, penyelenggara pinjaman online diharapkan menjadikan fatwa MUI sebagai pedoman dalam menjalankan layanan mereka, sehingga tetap berada dalam koridor syariah. Ketiga, umat Islam sendiri dianjurkan untuk selektif dalam memilih layanan keuangan dan mengutamakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dengan demikian, hukum Islam bukan hanya memberikan larangan, tetapi juga arah solusi agar praktik keuangan tetap berjalan dalam bingkai keadilan dan keberkahan.
Realitas Sosial: Mengapa Pinjol Tetap Diminati?
Meski banyak dikritik, pinjaman online (pinjol) justru terus mengalami pertumbuhan signifikan. Data Profil Internet Indonesia 2025 dari APJII mencatat peningkatan pengguna dari 5,42% pada 2024 menjadi 8,21% pada 2025, dengan dominasi generasi Milenial (45,15%) dan Gen Z (41,44%). Alasan utama mereka menggunakan pinjol adalah untuk memenuhi kebutuhan mendesak seperti biaya kesehatan atau utang darurat, membeli barang dengan cicilan tanpa kartu kredit, serta belanja kebutuhan sehari-hari. Mayoritas peminjam berasal dari kelompok berpenghasilan rendah hingga menengah dengan kisaran Rp 1 juta–Rp 3,5 juta per bulan, sehingga jelas bahwa pinjol bukanlah instrumen keuangan bagi orang kaya atau perusahaan besar, melainkan pintu darurat bagi rakyat kecil yang kekurangan akses ke layanan keuangan formal. Ironisnya, mereka sadar bunga pinjol sangat mencekik—berkisar 9–10% per bulan atau hampir 120% per tahun—namun tetap terpaksa memilihnya karena tidak ada alternatif lain yang dapat dijangkau secara cepat dan mudah.
Rakyat Kecil: Gila, Bodoh, atau Terpaksa?
Sebagian orang berkomentar sinis: “Apakah rakyat kecil sudah gila mengambil pinjaman dengan bunga setinggi itu?” Pertanyaan ini salah kaprah. Mereka bukan gila, bukan pula bodoh. Mereka tahu risikonya, tetapi kondisi hidup memaksa. Masalahnya bukan pada akal sehat rakyat, melainkan pada ketiadaan sistem keuangan yang berkeadilan. Tidak ada lembaga resmi yang hadir cepat ketika rakyat kecil butuh Rp 200 ribu untuk obat anak, atau Rp 1 juta untuk bayar kos. Tidak ada “orang saleh” yang bisa mereka datangi saat genting. Maka setan bernama pinjol pun menyamar menjadi malaikat penolong.
Kita seringkali terlalu “suci”, menuding peminjam sebagai pelanggar hukum Tuhan. Padahal, kebencian kita terhadap peminjam seolah hanya mempertegas jurang antara “orang saleh” dengan rakyat kecil yang sedang kelaparan.
Jalan Keluar: Keuangan Islam sebagai Solusi
Jalan keluar dari jeratan pinjol adalah menghadirkan sistem keuangan Islam yang nyata, bukan sekadar wacana. Prinsip-prinsip syariah menawarkan alternatif yang adil dan berkeadilan, mulai dari qardhul hasan, yakni pinjaman kebajikan tanpa bunga yang dapat bersumber dari zakat, infak, sedekah, atau CSR syariah; pembiayaan mikro syariah melalui koperasi, BMT, maupun unit mikro bank syariah dengan proses cepat, mudah, dan ramah bagi rakyat kecil; hingga berbagai akad syariah seperti murabahah, mudharabah, dan musyarakah yang menekankan kerja sama serta pembagian risiko secara adil. Selain itu, optimalisasi filantropi Islam juga penting, sebagaimana disampaikan KH Asrorun Niam, bahwa dana zakat, infak, dan sedekah dapat diarahkan untuk mendukung pembiayaan pendidikan sehingga anak bangsa tidak perlu terjerat utang berbunga. Untuk mewujudkan itu, perlu kolaborasi antara pemerintah, lembaga keuangan syariah, dan masyarakat sipil. Regulasi yang mendukung, insentif fiskal, hingga literasi keuangan Islam harus digalakkan.
Pinjol adalah wajah buram dari krisis akses keuangan di Indonesia. Ia bukan lahir karena rakyat gila, tetapi karena negara dan masyarakat belum menyediakan jalan keluar yang manusiawi. Selama umat Islam hanya sibuk mengutuk riba tanpa menghadirkan alternatif, rakyat kecil akan terus berlari ke pelukan setan bernama pinjol. Di sinilah letak tanggung jawab moral kita. Bukan hanya melarang, tetapi juga menghadirkan solusi. Keuangan Islam dengan prinsip keadilan, transparansi, dan tolong-menolong harus hadir nyata di tengah rakyat. Hanya dengan begitu, kita bisa menutup celah yang selama ini diisi oleh pinjol, dan menjadikan solidaritas umat sebagai penolong sejati rakyat kecil.
*PENULIS: Alumni S2 Islamic Banking and Finance di International Islamic University Malaysia dan juga Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (UNIKI)