Oleh: Muhammad Jais, S.E., M.Sc. IBF*
Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, berdiri di ambang sebuah transformasi ekonomi yang fundamental. Dengan total aset keuangan syariah yang telah melampaui Rp2.883 triliun pada akhir 2024, sektor ini menunjukkan geliat yang tak bisa lagi dipandang sebelah mata. Namun, angka fantastis ini sejatinya baru permukaan dari potensi raksasa yang masih tertidur. Pangsa pasar keuangan syariah secara keseluruhan yang baru mencapai 11,45% dari total industri keuangan nasional adalah sebuah paradoks sekaligus peluang emas.
Masa depan ekonomi syariah bukanlah sekadar tentang menaikkan angka pangsa pasar. Ini adalah tentang merumuskan kembali arah pembangunan bangsa menuju sebuah model yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga keadilan, keberlanjutan, dan kesejahteraan hakiki. Pertanyaannya bukan lagi “apakah” ekonomi syariah akan tumbuh, melainkan “bagaimana” kita mengarahkannya untuk menjadi pilar utama visi Indonesia Emas 2045.
Peluang di Depan Mata: Tiga Mesin Pertumbuhan Utama
Setidaknya ada tiga mesin pendorong utama yang jika dioptimalkan, dapat mengakselerasi peran ekonomi syariah secara eksponensial.
Pertama, momentum keuangan berkelanjutan (ESG). Prinsip-prinsip Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) yang kini menjadi tren global sejatinya adalah DNA dari ekonomi syariah yang berlandaskan Maqasid al-Shariah—tujuan untuk melindungi iman, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Indonesia, sebagai pionir penerbitan Green Sukuk di tingkat global, telah membuktikan bahwa keuangan syariah dan investasi hijau adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Ini adalah peluang untuk memposisikan Indonesia bukan sebagai pengikut, melainkan sebagai pemimpin global dalam pendanaan etis dan berkelanjutan.
Kedua, integrasi dengan ekonomi riil melalui industri halal. Visi besar Indonesia untuk menjadi pusat produsen halal dunia—mencakup makanan, fesyen, pariwisata, hingga farmasi—adalah kerangka kosong tanpa adanya sistem peredaran darah yang kuat. Keuangan syariah adalah sistem peredaran darah itu. Ia harus menjadi tulang punggung yang membiayai setiap jengkal rantai nilai halal, dari petani rempah di desa hingga eksportir busana muslim skala global.
Ketiga, transformasi digital sebagai jembatan inklusi. Digitalisasi bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan. Bagi ekonomi syariah, teknologi finansial (fintech) adalah jembatan untuk melompati hambatan geografis dan birokrasi, membawa produk-produk syariah yang kompetitif langsung ke genggaman jutaan UMKM dan masyarakat yang selama ini belum terjangkau (unbanked dan underbanked).
Mengurai Benang Kusut: Tantangan Nyata yang Menghadang
Namun, jalan menuju realisasi potensi ini tidaklah mulus. Ada dua benang kusut utama yang harus segera diurai.
Tantangan paling fundamental adalah krisis literasi dan inklusi. Data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024 dari OJK menampar kita dengan kenyataan: tingkat literasi keuangan syariah baru mencapai 39,11% dengan tingkat inklusi yang jauh lebih memprihatinkan, yaitu hanya 12,88%. Angka ini menunjukkan adanya jurang menganga antara ketersediaan produk dan pemahaman serta penggunaan oleh masyarakat. Ini adalah sumbatan utama yang menghambat permintaan dan pertumbuhan organik.
Tantangan kedua adalah defisit talenta dan inovasi produk. Sektor ini menghadapi “kesenjangan kompetensi” yang serius. Data menunjukkan hanya sekitar 9% karyawan di bank syariah yang memiliki latar belakang pendidikan ekonomi Islam. Defisit talenta ini berimbas langsung pada kemandekan inovasi, memunculkan persepsi bahwa banyak produk syariah hanyalah “salin-tempel” dari produk konvensional yang diberi label syariah. Tanpa otentisitas dan keunikan produk yang benar-benar menjawab kebutuhan riil, daya saing ekonomi syariah akan terus tergerus.
Strategi Transformasi: Peta Jalan Menuju Puncak
Untuk mengubah tantangan menjadi batu loncatan, diperlukan sebuah strategi transformasi yang terpadu dan agresif, sejalan dengan peta jalan yang telah dirintis oleh OJK dan KNEKS.
- Gempur Literasi, Rangkul Digitalisasi: Upaya meningkatkan literasi tidak bisa lagi bersifat seremonial. Diperlukan kampanye masif yang berbasis digital, menyasar generasi muda melalui platform yang mereka gunakan sehari-hari. Edukasi harus terintegrasi di dalam aplikasi fintech dan perbankan digital, mengubah setiap transaksi menjadi momen pembelajaran. Tujuannya jelas: membuat ekonomi syariah mudah dipahami dan diakses hanya dengan beberapa ketukan jari.
- Integrasi Total dengan Sektor Riil: Visi keuangan syariah harus keluar dari menara gadingnya. Kebijakan afirmatif diperlukan untuk menjadikan lembaga keuangan syariah sebagai motor penggerak utama pembiayaan UMKM dan industri halal. Contohnya, dengan mengalokasikan porsi Kredit Usaha Rakyat (KUR) Syariah yang lebih besar dan menciptakan skema pembiayaan rantai pasok halal yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Pelajaran dari Malaysia menunjukkan bahwa kerangka tata kelola syariah yang kuat (Sharia governance) adalah kunci untuk memastikan integrasi ini berjalan efektif dan kredibel.
- Melahirkan Inovasi Otentik: Sektor ini harus bergeser dari mentalitas “patuh syariah” (Sharia-compliant) menjadi “terinspirasi syariah” (Sharia-inspired). Ini berarti menciptakan produk-produk inovatif yang tidak dimiliki keuangan konvensional, seperti skema bagi hasil yang lebih fleksibel untuk start-up, produk manajemen risiko berbasis syariah untuk petani, atau pembiayaan infrastruktur sosial dengan skema waqf-linked sukuk. Kolaborasi intensif antara industri, regulator, dan universitas adalah kunci untuk menciptakan pusat riset dan pengembangan kelas dunia.
Sebuah Panggilan untuk Bertindak
Pada akhirnya, masa depan ekonomi syariah di Indonesia adalah sebuah pilihan strategis. Pilihan untuk tetap menjadi raksasa yang tertidur dengan potensi yang tidak tergarap, atau bangkit menjadi kekuatan transformatif yang menopang pembangunan nasional.
Mengembangkan ekonomi syariah bukan hanya soal agama atau identitas, melainkan soal membangun sistem ekonomi yang lebih tangguh, adil, dan manusiawi. Dengan mengintegrasikannya secara total ke dalam denyut nadi ekonomi riil, memberdayakan UMKM, dan memimpin agenda keuangan berkelanjutan, Indonesia tidak hanya akan mencapai target pangsa pasar, tetapi juga meletakkan fondasi yang kokoh untuk sebuah masa depan yang sejahtera dan berkeadilan bagi semua. Inilah esensi sejati dari kontribusi ekonomi syariah untuk visi Indonesia Emas 2045.
*PENULIS: Alumni S2 Islamic Banking and Finance di International Islamic University Malaysia dan juga Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (UNIKI)