Banda Aceh, rumohdata.com – Industri musik Indonesia kembali dihadapkan pada polemik pembayaran royalti lagu. Sebuah infografis terbaru dari Katadata.co.id menyoroti “Kisruh Royalti Lagu” yang memperlihatkan adanya dua versi pembayaran royalti yang berbeda dan menimbulkan ketidakpastian bagi para pemangku kepentingan, terutama pencipta lagu dan musisi.
Kasus terkini yang mencuat adalah gugatan senilai Rp24,5 miliar terhadap penyanyi Vidi Aldiano oleh pencipta lagu “Nuansa Bening.” Kasus ini menjadi representasi dari semakin memanasnya perdebatan mengenai mekanisme pembayaran royalti di kalangan pemusik.
Infografis tersebut menguraikan dua pendekatan utama dalam pembayaran royalti:
1. Versi Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI): “Direct License”
Menurut AKSI, pembayaran royalti seharusnya dilakukan langsung dari penyanyi atau penyelenggara kepada pencipta lagu melalui skema direct license. Nominal royalti sepenuhnya ditentukan oleh pencipta lagu.
Alasan utama AKSI mengusung model ini adalah penilaian bahwa Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dianggap tidak efektif dalam memungut dan menyalurkan royalti. Ahmad Dhani, Ketua Dewan Pembina AKSI, dengan tegas menyatakan, “Negara boleh tidak mengatur properti komposer.” Pandangan ini menekankan otonomi pencipta lagu dalam mengelola hak kekayaan intelektual mereka.
2. Versi Vibrasi Suara Indonesia (VISI): Melalui LMKN
Di sisi lain, Vibrasi Suara Indonesia (VISI) menganut mekanisme pembayaran royalti melalui LMKN. Nominal yang dibayarkan didasarkan pada Undang-Undang (UU) yang berlaku.
Namun, VISI juga mengakui adanya tantangan dalam sistem ini. Royalti langsung yang sebelumnya diterapkan dinilai menimbulkan ketidakpastian. Nazril Irham (Ariel Noah), Wakil Ketua VISI, mengungkapkan, “Sekarang ada direct license dan ini enggak resmi, bikin kita bingung.” Pernyataan ini mencerminkan kebingungan di kalangan musisi terkait legalitas dan implementasi direct license yang tidak terstruktur.
Implikasi dan Tantangan ke Depan
Polemik dua versi pembayaran royalti ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai masa depan industri musik Indonesia. Ketidakjelasan mekanisme pembayaran dapat merugikan pencipta lagu yang seharusnya menjadi pihak paling diuntungkan dari karya-karya mereka.
LMKN, sebagai lembaga yang ditunjuk untuk mengelola royalti secara kolektif, dituntut untuk meningkatkan transparansi dan efektivitas dalam pemungutan dan penyaluran dana. Di sisi lain, para pencipta lagu dan musisi memerlukan kejelasan regulasi dan dukungan hukum yang kuat untuk memastikan hak-hak mereka terlindungi.
Kasus “Nuansa Bening” ini diharapkan dapat menjadi momentum bagi seluruh pihak terkait untuk duduk bersama, merumuskan solusi komprehensif, dan menciptakan ekosistem royalti yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh insan musik di Indonesia.