Rumohdata.com – Banda Aceh, 12 Juni 2025
Kasus pengalihan empat pulau dari Kabupaten Aceh Singkil ke Provinsi Sumatera Utara mengundang reaksi luas dari masyarakat Aceh. Lebih dari sekadar sengketa administratif, peristiwa ini dinilai menyentuh aspek mendalam identitas kolektif dan sejarah panjang relasi pusat-daerah. Dalam perspektif Prof. Ahmad Humam Hamid, Guru Besar Sosiologi dari Universitas Syiah Kuala (Tribunnews Aceh, 11 Juni 2025), dinamika ini dapat dipahami dengan pendekatan “epigenetika sosial”—yakni bahwa memori sejarah, resistensi, dan semangat perlawanan masyarakat daerah tidak pernah hilang, hanya menunggu dipicu untuk bangkit kembali.
Memori Sosial dan Gen Resistensi: Dari Banda Aceh ke Edinburgh
Skotlandia menjadi salah satu contoh global paling relevan untuk membaca situasi Aceh hari ini. Setelah bersatu dengan Inggris dalam Act of Union 1707, Skotlandia tetap mempertahankan struktur hukum, pendidikan, dan identitas budayanya yang unik. Puncak resistensi politik modern tercermin dalam referendum kemerdekaan tahun 2014, yang meski gagal, mengokohkan kembali posisi Skotlandia dalam struktur otonomi internal Britania Raya. Resistensi Skotlandia bukan reaksi spontan, melainkan hasil panjang relasi simbolik dan struktural antara pusat (Westminster) dan pinggiran (Holyrood).
Hal serupa tercermin dalam konteks Aceh. Sejak penandatanganan MoU Helsinki 2005, Aceh memiliki status otonomi khusus dengan kekhususan hukum, politik, dan budaya. Namun, keputusan pemerintah pusat—seperti pengalihan empat pulau—menjadi semacam “zat kimia” sosial yang mengaktifkan kembali gen resistensi yang lama dorman. Sebagaimana dalam epigenetika, trauma sosial tidak hilang, tetapi tertanam dalam narasi kolektif, diwariskan antargenerasi, dan muncul kembali ketika negara dinilai gagal membaca sensitivitas lokal.
Dari Hukum ke Martabat: Apa yang Bisa Dipelajari dari Skotlandia
Skotlandia tidak hanya menuntut kebijakan fiskal atau otonomi administratif, melainkan menuntut pengakuan martabat nasionalnya. Di banyak kasus, Inggris justru memperkuat legitimasi politiknya dengan memberikan ruang diskusi konstitusional, termasuk devolusi kekuasaan dan referendum. Inggris memahami bahwa kekuatan negara tidak selalu terletak pada pemaksaan hukum, melainkan pada kemampuan membaca emosi sejarah dan aspirasi kolektif.
Sebaliknya, respons negara terhadap kasus Aceh Singkil sejauh ini masih terkesan legalistik—mendorong Pemerintah Aceh menempuh jalur hukum ke PTUN. Dalam logika teknokratis, pendekatan ini mungkin rasional. Namun dalam logika sosial daerah bekas konflik seperti Aceh, pendekatan ini bersifat reduktif. Ia mengabaikan bahwa wilayah adalah bagian dari kehormatan kolektif, bukan sekadar koordinat geografis.
Generasi Muda dan Reproduksi Narasi: Skotlandia dan Aceh Bertemu di Persimpangan Baru
Baik di Aceh maupun di Skotlandia, generasi mudalah yang kini menjadi pengusung utama narasi resistensi dan perlawanan. Di Skotlandia, partai-partai nasionalis seperti SNP (Scottish National Party) memperoleh basis dukungan kuat dari pemuda, terutama karena mereka merasa identitas Skotlandia semakin terpinggirkan oleh sentralisasi kebijakan di London.
Fenomena serupa mulai muncul di Aceh. Generasi pascadamai yang tidak mengalami langsung konflik bersenjata, justru menjadi penyampai ulang narasi historis tentang marginalisasi, pengingkaran janji, dan kekecewaan terhadap pusat. Mereka tidak serta merta ingin memisahkan diri dari Indonesia, tetapi mendambakan pengakuan sejati, perhatian yang adil, dan respek terhadap hak dan identitas lokal.
Menghindari Aktivasi Ulang Gen Sosial Aceh
Skotlandia telah mengajarkan kita bahwa negara yang cerdas adalah negara yang tidak hanya mengatur, tetapi juga mendengar dan merawat. Resistensi, seperti dalam epigenetika, adalah potensi yang bisa tetap dorman—selama tidak ada pemicu dari luar yang mengguncang keseimbangan memori sosial.
Bagi Indonesia, kasus Aceh Singkil harus dibaca sebagai peringatan dini, bukan sekadar prosedur birokrasi. Negara tidak boleh hanya berpatok pada peta hukum, tetapi harus menyentuh peta emosional rakyatnya. Jika Aceh adalah tubuh sosial yang pernah terluka, maka keadilan dan empati adalah antibodi yang paling dibutuhkan untuk menjaga perdamaian tetap hidup.
“Dalam tubuh sosial Aceh, mungkin gen resistensi itu tidak akan pernah benar-benar hilang. Tapi negara bisa memastikan bahwa ia tetap dorman—tidak diaktifkan oleh kebijakan yang gegabah, melainkan diredam oleh keadilan, pengakuan, dan empati.”
— Prof. Ahmad Humam Hamid