Rumoh Data | 2 Juni 2025
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) resmi memberlakukan kebijakan pembatasan promosi diskon ongkos kirim (ongkir) yang hanya diperbolehkan maksimal tiga hari dalam sebulan. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Komdigi Nomor 8 Tahun 2025 dan bertujuan untuk menjaga iklim persaingan usaha yang sehat di sektor jasa pengiriman dan logistik.
Namun, kebijakan ini memunculkan respons beragam dari berbagai kalangan, mulai dari pelaku industri logistik, platform e-commerce, hingga masyarakat pengguna layanan.
Diskon Ongkir Dibatasi, Apa Alasannya?
Dalam regulasi tersebut, perusahaan kurir hanya boleh memberikan diskon ongkir lebih dari tiga hari dalam sebulan jika besaran ongkir setelah diskon masih di atas biaya pokok layanan. Jika tidak, maka pembatasan tiga hari per bulan berlaku ketat.
Kebijakan ini bertujuan menghindari praktik predatory pricing yang berpotensi mematikan persaingan, terutama dari perusahaan besar yang mampu mensubsidi biaya logistik secara terus-menerus.
Pro: Persaingan Lebih Adil, Kurir Lebih Sejahtera
Komdigi menilai, pembatasan ini bisa mendorong:
- Persaingan usaha yang lebih sehat dan adil
- Peningkatan kesejahteraan kurir, karena promo ongkir sering kali dibebankan pada mereka
- Stabilitas ekosistem logistik nasional, yang selama ini rentan dengan perang harga
Data terbaru menunjukkan dominasi perusahaan besar seperti J&T Express yang mencatat transaksi hingga Rp53,05 triliun di Asia Tenggara pada 2024. Disusul Grab (Rp24,59 triliun), Gojek (Rp5,33 triliun), dan lainnya.
Kontra: E-Commerce Terancam, Biaya Logistik Masih Mahal
Namun demikian, pelaku industri e-commerce menyuarakan kekhawatiran:
- Minat belanja online bisa menurun, mengingat ongkir menjadi salah satu faktor penentu keputusan pembelian.
- Biaya logistik di Indonesia masih tinggi. Menurut data Indeks Kinerja Logistik (LPI) 2023, Indonesia menempati peringkat 61 dunia dengan skor 3,0—terendah di Asia Tenggara, di bawah Singapura (4,3), Malaysia (3,6), dan Thailand (3,5).
- Hambatan terhadap inovasi pemasaran digital, karena diskon ongkir selama ini menjadi bagian dari strategi branding dan promosi.
Analisis Rumoh Data: Perlu Keseimbangan Antara Regulasi dan Inovasi
Berdasarkan data yang dihimpun, tantangan utama Indonesia bukan hanya soal diskon, tetapi inefisiensi struktural sektor logistik. Dengan beban infrastruktur yang tidak merata, keterbatasan sistem distribusi, serta regulasi yang kerap berubah, pembatasan diskon justru bisa menjadi kontra-produktif jika tidak diimbangi dengan reformasi logistik secara menyeluruh.
Selain itu, model bisnis e-commerce Indonesia yang masih sangat bergantung pada promosi, termasuk ongkir murah, menandakan bahwa perubahan regulasi harus disertai dengan peta jalan transisi yang jelas.
Rekomendasi Kebijakan (Policy Note Rumoh Data)
- Evaluasi indeks biaya logistik nasional secara berkala dan publikasi terbuka untuk akuntabilitas.
- Penerapan tarif ongkir yang transparan dan berbasis perhitungan riil, bukan sekadar promo marketing.
- Peningkatan kualitas layanan kurir lokal untuk mendukung kompetisi yang sehat.
- Dukungan kepada UMKM dan e-commerce kecil dalam bentuk subsidi silang atau insentif non-diskon.
Penutup
Kebijakan pembatasan diskon ongkir memang dimaksudkan untuk memperkuat struktur pasar dan menghindari dominasi pemain besar. Namun tanpa upaya struktural memperbaiki ekosistem logistik nasional, pembatasan ini bisa berisiko memperlambat pertumbuhan e-commerce dan memperberat beban konsumen.
Sebagai platform berbasis data, Rumoh Data menyerukan pentingnya pengambilan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) yang mempertimbangkan aspek keberlanjutan ekonomi digital secara utuh dan inklusif.
Sumber Data:
- Katadata, Mei 2025
- Kementerian Komunikasi dan Digital (Permen Komdigi 8/2025)
- World Bank Logistics Performance Index 2023
- Laporan Keuangan J&T, Gojek, Grab, POS Indonesia, AnterAja