Dalam arena ekonomi syariah global, Indonesia dan Malaysia seringkali dipandang sebagai dua kutub “rival” yang saling bersaing. Indonesia unggul dalam skala potensi—sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar—dan telah menunjukkan kepemimpinan inovatif melalui penerbitan Green Sukuk terbesar di dunia. Namun, kita harus jujur mengakui sebuah fakta: dalam hal maturitas dan penetrasi pasar, kita masih tertinggal dari Malaysia.
Ketika pangsa pasar perbankan syariah di Malaysia telah kokoh melampaui 30%, Indonesia masih berjuang di level 7,72%. Kesenjangan ini bukanlah ngadi-ngadi, melainkan hasil dari strategi dan eksekusi yang berbeda. “Berkaca” dari keberhasilan Malaysia bukanlah tentang menjiplak secara membabi buta, melainkan tentang mengadopsi prinsip-prinsip kesuksesan mereka dan mengkontekstualkan pada keindonesiaan yang unik.
Berikut adalah tiga resep strategis yang bisa kita pelajari dari Malaysia untuk melepaskan potensi penuh ekonomi syariah Indonesia. Kemudian nanti bisa menajdi resep aplikatif untuk pembangunan indonesia yang berkelanjutan.
Resep Pertama: Cetak Talenta Unggul, Bukan Sekadar Tenaga Kerja
Problem mendasar di Indonesia adalah “defisit talenta yang kronis”. Statistik yang menyebutkan hanya sekitar 9% karyawan bank syariah yang memiliki latar belakang pendidikan ekonomi Islam adalah alarm yang memekakkan telinga. Kekosongan ini menjadi akar dari minimnya inovasi dan persepsi produk “salin-tempel” yang tak kunjung hilang.
Resep Malaysia: Mereka tidak menunggu. Sejak awal, Malaysia berinvestasi besar-besaran untuk membangun “pabrik talenta” kelas dunia bernama INCEIF (International Centre for Education in Islamic Finance). INCEIF bukan sekadar universitas, melainkan sebuah kawah candradimuka yang secara sistematis menghasilkan para profesional—bankir, regulator, ahli hukum, dan cendekiawan syariah—yang memiliki pemahaman mendalam dan aplikatif. Mereka menciptakan pasokan sumber daya manusia (SDM) sebelum permintaan membludak.
Adaptasi untuk Indonesia: Indonesia harus segera meluncurkan Gerakan Nasional Penciptaan Talenta Syariah. Ini menuntut kolaborasi total antara KNEKS, Kemendikbudristek, OJK, dan universitas-universitas terkemuka untuk merancang kurikulum terapan, program sertifikasi profesi yang diakui secara global, dan beasiswa masif. Tujuannya bukan lagi mencetak tenaga kerja, melainkan melahirkan generasi arsitek dan inovator ekonomi syariah.
Resep Kedua: Regulasi Progresif, Bukan Reaktif
Regulasi di Indonesia sudah ada dan cukup komprehensif. Namun, seringkali pendekatannya bersifat reaktif—merespons perkembangan yang sudah terjadi. Ini membuat kita selalu selangkah di belakang. Bahkan rentan menjadi gebrakan yang dianggap hanya sebagai seremonial dan eforia sesaat. Maka diharapkan kepada seluruh stakeholders bekomitmen untuk memajukan ekonomi syari’ah.
Resep Malaysia: Mereka menerapkan kerangka kerja Regulasi Progresif yang berpusat pada Shariah Governance Framework. Poin kuncinya brilian: tanggung jawab utama atas kepatuhan syariah tidak hanya berhenti di Dewan Pengawas Syariah, tetapi diletakkan secara tegas pada Dewan Direksi dan Manajemen Senior. Hal ini “memaksa” prinsip syariah masuk ke dalam jantung pengambilan keputusan strategis perusahaan, menjadikannya DNA korporat, bukan sekadar tempelan. Pendekatan top-down ini mendorong budaya kepatuhan yang proaktif dan inovatif dari dalam.
Adaptasi untuk Indonesia: OJK dapat mengadopsi filosofi ini dengan memperkuat peran dan akuntabilitas direksi dalam implementasi nilai-nilai syariah. Selain itu, kita harus lebih berani menciptakan “ruang aman” untuk inovasi melalui regulatory sandbox yang lebih lincah dan suportif, khususnya bagi fintech syariah. Jadikan regulasi sebagai akselerator, bukan sekadar pagar pembatas.
Resep Ketiga: Ekosistem Terpadu, Bukan Silo Terpisah
Di Indonesia, kita sering berbicara tentang menghubungkan keuangan syariah dengan industri halal dan UMKM. Namun dalam praktiknya, ketiganya masih berjalan dalam silo-silo terpisah dengan koordinasi yang lemah.
Resep Malaysia: Keunggulan mereka terletak pada Ekosistem Terpadu. Lembaga keuangan syariah, badan sertifikasi halal, agensi promosi perdagangan (seperti MATRADE), dan lembaga pendidikan mereka bergerak dalam satu orkestra yang harmonis. Sebuah UMKM yang mendapatkan sertifikasi halal akan secara otomatis dan mudah terhubung dengan opsi pembiayaan syariah dan bahkan difasilitasi untuk menembus pasar ekspor. Ini adalah pendekatan “gotong royong” dalam skala nasional.
Adaptasi untuk Indonesia: Di sinilah letak peluang terbesar kita untuk melampaui Malaysia. Dengan lebih dari 64 juta UMKM, Indonesia memiliki skala yang tak tertandingi. Peran KNEKS harus diperkuat menjadi “Super Konektor” nasional yang mampu mendobrak ego sektoral. Bayangkan sebuah platform digital tunggal di mana UMKM bisa mengurus sertifikasi halal, mendapatkan pelatihan bisnis, sekaligus mengajukan pembiayaan ke beberapa bank syariah secara simultan. Dengan mengintegrasikan kekuatan UMKM kita, kita tidak hanya membangun ekosistem, kita menciptakan sebuah kekuatan ekonomi raksasa.
Menjadi Versi Terbaik Diri Sendiri
Mempelajari resep dari Malaysia bukan berarti kita harus menjadi seperti mereka. Justru, ini adalah tentang menggunakan cermin pembanding untuk menemukan jalan tercepat menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.
Dengan mengadopsi strategi penciptaan talenta yang agresif, menerapkan regulasi yang progresif, dan membangun ekosistem UMKM dan industri halal yang terintegrasi secara total, Indonesia tidak hanya akan mengejar ketertinggalan. Kita akan menciptakan model ekonomi syariah yang unik, berdaya tahan, dan berdampak sosial-ekonomi jauh lebih besar, sesuai dengan amanat sejarah dan anugerah demografi yang kita miliki.