Rumoh Data | 3 Juni 2025
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data yang mengejutkan: jumlah pengangguran Indonesia melonjak 1,1% menjadi 7,28 juta orang per Februari 2025. Yang paling mencolok, kelompok sarjana (pendidikan Diploma IV, S1, S2, S3) mengalami peningkatan pengangguran tertinggi, naik sebesar 14,6% dibanding tahun sebelumnya. Temuan ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai relevansi pendidikan tinggi dengan kebutuhan pasar kerja.
Sarjana: Pendidikan Tinggi, Tapi Rentan
Data dari BPS memperlihatkan bahwa tingkat pengangguran sarjana kini mencapai 13,89% dari total pengangguran, naik signifikan dari 12,12% pada Februari 2024. Sementara pengangguran lulusan SMA justru menurun 4,37% ke angka 28,01%, dan SMK turun 0,75%. Fakta ini mencerminkan adanya mismatch atau ketidaksesuaian antara kompetensi lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan riil dunia kerja.
Kondisi Ketenagakerjaan Nasional: Masih Didominasi Sektor Informal
Dari total 145,77 juta penduduk bekerja, sebagian besar berpendidikan rendah: 53,70% hanya lulusan SD dan SMP. Mayoritas bekerja di sektor informal (59,40%), dengan dominasi sektor pertanian, perdagangan, dan industri pengolahan (61,25%). Ini menunjukkan pasar kerja Indonesia masih menyerap tenaga kerja rendah keterampilan, sementara lulusan tinggi justru bersaing di ruang kerja yang tidak bertumbuh secara seimbang.
Mengapa Sarjana Menganggur? Analisis Rumoh Data
- Mismatch antara Pendidikan dan Kebutuhan Industri
Banyak perguruan tinggi belum mengintegrasikan kurikulum yang sesuai dengan transformasi digital, ekonomi hijau, dan sektor industri 4.0. Akibatnya, lulusan tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan pasar seperti data analysis, bahasa asing, coding, atau soft skill profesional. - Overproduksi Lulusan Tanpa Diversifikasi Kompetensi
Terlalu banyak lulusan di bidang sosial-humaniora tanpa dukungan keahlian teknis atau kewirausahaan. Hal ini memperbesar kompetisi di sektor yang sempit. - Pertumbuhan Ekonomi Tak Ciptakan Lapangan Kerja Berkualitas
Meski Indonesia tumbuh stabil di kisaran 5%, pertumbuhan ini belum mendorong penciptaan kerja formal yang cukup. Sektor informal tetap dominan dan tidak menyerap lulusan sarjana secara optimal. - Fleksibilitas dan Mobilitas Rendah
Banyak sarjana menolak pekerjaan yang tidak sesuai gelar atau di luar kota asal, menurunkan peluang kerja mereka.
Solusi Strategis: Agenda Reformasi Pendidikan dan Ketenagakerjaan
Rumoh Data mengusulkan pendekatan intersektoral dan berbasis bukti sebagai solusi:
- Revitalisasi Kurikulum Perguruan Tinggi
Fokus pada keterampilan masa depan: digital, AI, manajemen risiko, kewirausahaan, serta praktik kerja nyata (magang, riset industri). - Penguatan Link & Match
Kerja sama permanen antara kampus, industri, dan pemerintah untuk merancang pendidikan yang responsif terhadap dinamika pasar kerja. - Perluasan Inkubasi Wirausaha
Pemerintah perlu menyediakan akses modal dan pelatihan wirausaha berbasis teknologi bagi lulusan baru, khususnya di daerah. - Transformasi Kebijakan Ketenagakerjaan
Insentif fiskal bagi perusahaan yang menyerap fresh graduate dan pengembangan sistem pelatihan ulang (reskilling) nasional.
Penutup: Darurat Struktural yang Tak Bisa Ditunda
Meningkatnya angka pengangguran sarjana bukan hanya soal statistik, tetapi mencerminkan ketidaksinambungan antara dunia pendidikan, kebijakan pembangunan ekonomi, dan dinamika pasar kerja. Tanpa langkah korektif segera, Indonesia menghadapi risiko kehilangan bonus demografi dan menciptakan generasi frustrasi.
Rumoh Data akan terus memantau dinamika ini dengan pendekatan berbasis data, analisis kontekstual, dan mendorong advokasi berbasis kebijakan yang terukur.
Sumber: BPS, Katadata (Mei 2025)
Analisis: Rumoh Data Research Unit